Pigouvian Tax untuk Mitigasi Eksternalitas Negatif Kendaraan Bermotor


KECENDERUNGAN seseorang untuk berhasrat memiliki kendaraan bermotor adalah hal lumrah. Selain berfungsi sebagai alat transportasi, kendaraan bermotor juga bisa menjadi simbol prestige dan power. Apalagi kalau kendaraan yang dimiliki tergolong mewah dan jumlahnya lebih dari satu unit.


Namun, di luar perkara prestige, alasan paling umum di balik kepemilikian kendaraan probadi adalah infrastruktur transportasi publik yang masih banyak perlu dibenahi.

 

Menurut data Korlantas Polri, jumlah kepemilikan kendaraan pribadi jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah kendaraan umum, yakni dengan rasio 96% berbanding 4%.

 

Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, property rights atas kendaraan bermotor ikut bertambah. Makin banyak jumlah manusia di Indonesia, makin tinggi pula demand terhadap kendaraan bermotor.

 

Polri, pada 2023, mencatat jumlah kendaraan bermotor di Tanah Air mencapai 153,4 juta unit, dengan 96% di antaranya adalah kendaraan pribadi. Dari porsi kendaraan pribadi tersebut, 86% di antaranya adalah sepeda motor dan 13% adalah kendaraan roda empat. Bahkan, jumlah kendaraan pribadi terus bertambah. Penjualan sepeda motor baru tembus 5 juta unit per tahun (AISI, 2023). Sementara itu, penjualan kendaraan roda empat atau lebih mencapai 1 juta unit per tahun (GAIKINDO, 2023).

 

Berdasarkan lokasinya, populasi kendaraan bermotor paling banyak tersebar di Pulau Jawa dengan persentase 59,7%. Selanjutnya, Sumatera 20,6%, Kalimantan 7,2%, Sulawesi 6%, dan Bali 3%. Sayangnya, tingginya laju penambahan populasi kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan penambahan ruas jalan yang memadai. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, panjang jalan relatif tetap, yakni pertumbuhan panjang jalan tiap tahunnya tak mencapai 6%. Kerusakan jalan di banyak titik juga memicu kemacetan.

 

Pajak sebagai Rem

Masifnya pengguna kendaraan bermotor memiliki korelasi dengan pengelolaan lingkungan. Bagi Indonesia, sebagai negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia dan salah satu pemilik hutan terluas, isu pemanasan global bukan hal remeh. Namun, solusi atas pemanasan global akan berbenturan dengan pertumbuhan volume kendaraan bermotor. Hal tersebut juga tidak terbatas dipengaruhi oleh supply and demand.

 

Sederhananya, jumlah penduduk yang bertambah akan beriringan dengan penambahan permintaan atas kendaraan. Karenanya, industri otomotif akan berkembanng pesat. Namun, di sisi lain keseimbangan lingkungan akan terganggu akibat pencemaran lingkungan yang dihasilkan kendaraan bermotor.

 

Karenanya, upaya penanganan pencemaran lingkungan memerlukan intervensi pemerintah dalam menyusun kebijakan. Salah satu opsi kebijakan yang disiapkan adalah pajak pigouvian. Pajak pigouvian diberikan untuk mengompensasi eksternalitas negatif dari emisi kendaraan bermotor.

 

Negara (state) perlu menjamin pertumbuhan ekonomi dengan memastikan industri tetap berjalan. Di sisi lain, pencemaran lingkungan perlu diminimalisasi. Solusinya, negara memberikan insentif kepada pelaku pasar untuk mengembangkan teknologi produksi kendaraan bermotor jenis hybrid atau ramah lingkungan. PR-nya, industri perlu memastikan agar pajak pigouvian yang diberlakukan benar-benar tepat sasaran.

 

Jika pajak pigouvian menjadi tools untuk meminimalisasi pencemaran kendaraan bermotor yang sudah eksisting, negara juga tetap perlu membatasi kepemilikan kendaraan bermotor dengan memberlakukan pajak progresif dan PPnBM.

 

Poinnya, dengan membatasi jumlah kendaraan bermotor, pemerintah perlu memastikan pergeseran penggunaan transportasi privat ke publik dengan optimal.

 

Jika dipandang dari sudut pandang pelaku pasar, pemungutan pajak progresif dan PPnBM merupakan regulasi yang kontraporduktif. Kebijakan tersebut dinilai hanya memberikan disinsentif kepada industri kendaraan bermotor. Di sisi lain, aspek eksternalitas negatif terhadap lingkungan cenderung terabaikan.

 

Penulis meningatkan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan setiap pelaku industri ‘membayar’ kompensasi atas eksternalitas negatif dari emisi karbon yang dihasilkan. Industri otomotif harus dibangun secara efisien dan memenuhi aspek equity serta tetap mematuhi regulasi tentang lingkungan.

 

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.


PenulisDedy Arfiansyah

EditorRedaktur DDTC News


━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Artikel ini telah tayang di Lomba Menulis Artikel Pajak dan Politik 2023 DDTC News 

pada tanggal 20 Oktober 2023

━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Posting Komentar

0 Komentar