Dari Koperasi Untuk Pisang Indonesia Mendunia

Pisang merupakan buah yang paling banyak dihasilkan Indonesia. Menurut BPS, produksi pisang dalam dua dekade cenderung meningkat dengan nilai produksi tertinggi di tahun 2022 sebesar 9,5 juta ton. Hal ini karena terdapat upaya peningkatan produksi buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat akibat pandemi Covid-19 dan program pengembangan hortikultura berorientasi ekspor.

Tahun 2022, konsumsi per kapita Indonesia untuk jenis pisang ambon sebesar 2,15 kg dan pisang lainnya 7,15 kg. Dengan penduduk 275,77 juta jiwa, maka kebutuhan pisang ambon sekitar 594.017 ton dan pisang lainnya 1.972.058 ton.

Selain konsumsi, penggunaan pisang meliputi industri non pangan (angka konversi 0,03%) dan tercecer (kisaran 1,11−4,73%). Dengan penyediaan sebesar 9,57 juta ton, maka terdapat surplus pasokan pisang 6,576,89 juta ton, yang menurut Kementan RI diasumsikan dapat diserap oleh hotel, restoran, katering, dan industri.

Di tahun 2022, hampir seluruh produksi pisang Indonesia dijual di pasar domestik, hanya 0,23% yang diekspor ke pasar global, yaitu 22.113 ton atau senilai Rp136,8 miliar. 99,85% ekspor pisang hanya dikirim ke lima negara (Malaysia, Tiongkok, Singapura, Jepang, dan Oman), dimana Malaysia menjadi negara tujuan ekspor terbesar yaitu 13.491 ton atau senilai Rp60,7 miliar.

Sekitar 50% permintaan pisang dunia berasal dari AS (24,42%), Tiongkok (8,84%), Jerman (6,29%), Jepang (5,15%), dan Belgia (4,90%). Sayangnya Indonesia belum dapat menembus pasar AS, Jerman, dan Belgia. Bahkan, tahun 2022 Indonesia hanya dapat mengisi pangsa pasar ekspor pisang Tiongkok 0,19% dan Jepang 0,24%. Melihat fakta tersebut, sebenarnya Indonesia memiliki peluang untuk lebih berjaya di pasar dunia.

Lesson Learned dari Top Eksportir Pisang

Ekuador dapat dijadikan best practice negara pengekspor pisang terbesar di dunia karena dua dekade terakhir dapat memenuhi permintaan lima negara importir pisang terbesar. Kunci efisiensi produksi pisang Ekuador yaitu (1) kondisi iklim pertanian yang optimal seperti struktur tanah dan drainase yang baik, sehingga meminimalisir penggunaan bahan kimia; (2) luas lahan 5,5, juta ha yang mendukung kapasitas produksi sepanjang tahun; dan (3) ketersediaan tenaga kerja untuk produksi dan panen.


Lebih lanjut, faktor jarak bukan kendala dalam ekspor pisang yang sifatnya non-durable goods. Jarak ekspor pisang dari Ekuador ke Jerman dan Belgia, hampir sama dengan jarak dari Indonesia ke dua negara tersebut (sekitar 9.60011.500 km). Penyebabnya, Ekuador memiliki kualitas jalan yang baik untuk pengangkutan pisang ke pelabuhan utama, biaya pengiriman yang terjangkau, dan kontrol untuk memenuhi persyaratan internasional melalui pengembangan teknologi tingkat tinggi pada produksi, transportasi, dan distribusi.


Untuk ekspor ke lima negara utama pengimpor pisang diperlukan persyaratan yang berbeda di tiap negara. Misalnya ekspor ke Tiongkok memerlukan 6 dokumen utama, yaitu sertifikat fitosanitari, Surat Keterangan Asal (SKA), kontrak penjualan, daftar muatan, daftar pengepakan, dan dokumen khusus lainnya yang diminta importir.


Sertifikasi ekspor yang terpenting dan berlaku di tiap negara adalah SKA yang dikeluarkan oleh negara eksportir untuk menyatakan bahwa barang yang diekspor berasal dari negara pengekspor.


Berdasarkan geografis, jarak Indonesia ke Tiongkok dan Jepang relatif lebih dekat dibandingkan ke Jerman, Belgia, dan AS. Maka itu, prospek jangka pendek ekspor Indonesia dapat difokuskan ke Tiongkok dan Jepang, dengan memenuhi syarat dan ketentuan di negara tersebut.

 

Koperasi sebagai Aggregator dan Offtaker

Optimalisasi produksi pada level petani dan pemberdayaan pelaku UMKM pisang akan menciptakan value added yang lebih tinggi. Produktivitas dan daya saing petani pisang akan meningkat jika skala produksinya efisien. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi produksi pisang diperlukan koperasi sebagai aggregator dan offtaker yang berperan: (1) mendorong dan memberikan bimbingan teknologi budidaya pisang dan penanganan pasca panen, agar kapasitas produksi pisang yang dapat tumbuh sepanjang tahun menjadi lebih optimal; dan (2) mendampingi petani dalam penggunaan pupuk dan pestisida, termasuk pengadaannya.


Eksistensi Koperasi Tani Hijau Makmur yang bermitra dengan PT. Great Giant Pineapple (GGP) di Tanggamus Lampung dapat dijadikan benchmark dengan tiga success stories, yaitu (1) menciptakan kemitraan dengan GGP yang menghimpun kelompok tani untuk menghasilkan pisang berkualitas dan terstandardisasi; (2) menjamin akses pasar dan memberikan benefit pertanian bagi petani dan penjualan bagi perusahaan; dan (3) menjamin stabilitas harga pada level petani, dimana tanggung jawab penjualan berada di pundak perusahaan.

 

Hilirisasi Pisang

Sambil menanti kedigdayaan pisang Indonesia di pasar global, perlu penguatan kelembagaan untuk produksi dan hilirisasi komoditas pisang. Upaya hilirisasi bisa dilakukan dengan membangun ekosistem pengembangan pisang dari hulu ke hilir, misalnya industri pengolahan tepung pisang yang dapat meningkatkan margin penjualan, menambah keragaman pangan lokal, dan mengurangi konsumsi beras.


Jenis pisang untuk tepung pisang berbeda dengan pisang yang akan diekspor. Pisang yang cocok dijadikan tepung adalah jenis plantain yang memiliki kadar pati lebih tinggi dan kadar gula lebih rendah, misal pisang kapok, pisang tanduk, dll. Sementara jenis pisang untuk ekspor yang paling banyak dijual adalah cavendish.


Ke depan, inovasi dan diversifikasi komoditas pisang perlu terus dikembangkan agar dapat menghasilkan produk turunan pisang yang dapat diekspor, tidak hanya dalam bentuk buah yang siap dikonsumsi.


Penulis

(1) Dedy Arfiansyah, Analis Kebijakan Ahli Pertama Kemenkop UKM

(2) Kartika Putri Larasati, Asisten Peneliti Lembaga Demografi FEB UI

(3) Syahril Fajri Pratama, Ketua Umum KOPMA UNILA Periode 2023

━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Artikel ini telah tayang di Opini Harian Ekonomi Neraca pada tanggal 28 Juli 2023

━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Posting Komentar

0 Komentar