Pertahanan Negara dalam Dimensi Non-Warfare


Dari perspektif militer, konflik atau perang terjadi karena terdapat perbedaan kepentingan antarnegara, baik karena alasan geopolitik maupun geostrategis. Dalam sejarah dunia, pelanggaran batas dan perebutan wilayah disebabkan oleh faktor sumber daya dan motif ekspansi suatu negara.

 

Indonesia tidak luput dari kejadian pelanggaran batas di darat, laut, maupun udara. Sepanjang 2023, pelanggaran wilayah teritorial NKRI telah dilakukan oleh 14 pesawat asing (Kompas, 11 Juli 2023) dan 16 kapal asing (KemenPANRB, 28 November 2023). Bentuk kerugian yang ditimbulkan antara lain berupa penangkapan ikan secara ilegal dan pencemaran laut (Kompas, 17 April 2023), penyelundupan impor ilegal (Bea Cukai, 10 Agustus 2023), dan kejahatan transnasional lainnya yang mendatangkan kerugian bagi negara.

 

Di masa mendatang, tiap negara akan menghadapi ancaman, tantangan, gangguan, dan hambatan yang semakin kompleks dan bisa jadi tidak dapat diantisipasi sebelumnya. Dimensinya pun tidak hanya dapat ditilik dari perspektif militer, melainkan ekonomi, sosial, politik, lingkungan dan SDA, budaya dan ideologi, serta teknologi dan cyber. Jika dilihat secara holistik, seluruh dimensi tersebut terkait dengan dua kebutuhan dasar umat manusia, yaitu pangan dan energi yang semakin langka.

 

Ancaman Krisis Energi

Ancaman yang pertama datang dari peningkatan konsumsi energi sehingga membuat pasokannya makin menipis. Menurut laporan Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi BPS, sumber daya yang memiliki umur aset terpendek adalah minyak bumi yang diperkirakan hanya dapat dieksploitasi hingga 18 tahun mendatang.

 

Minyak bumi hingga saat ini masih menjadi sumber energi utama untuk industri, transportasi, dan rumah tangga. Bagi negara tertentu, minyak menjadi sumber utama penerimaan karena berkontribusi terhadap pembentukan PDB dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, minyak juga menjadi representasi kuatnya ekonomi dan pertahanan suatu negara.


Jika melihat diagram radar di atas, negara yang memiliki pertahanan militer yang kuat (USA, Rusia, China, India, dan Korea Selatan) memiliki luasan segitiga lebih besar daripada negara yang diprediksi mengalami krisis (Sudan, Sudan Selatan, Burkina Faso, Myanmar, dan Mali). Hal ini menunjukkan bahwa negara yang memiliki pertahanan militer yang tinggi cenderung memiliki produksi, konsumsi, dan cadangan minyak yang tinggi. Begitu pula sebaliknya, negara yang diprediksi akan mengalami krisis kemanusiaan memiliki produksi, konsumsi, dan cadangan minyak yang cenderung rendah.

 

Presumsi ini didukung dengan hasil uji statistik korelasi Pearson yang menyatakan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk pertahanan negara berkorelasi positif signifikan dengan produksi, konsumsi, dan cadangan minyak. Sehingga dapat dikatakan dimensi pertahanan memiliki keterkaitan dengan ketersediaan energi suatu negara.

Implikasinya, ketika harga minyak rendah, negara produsen minyak berpotensi melakukan pemotongan pengeluaran anggaran pemerintah (termasuk anggaran militer). Hal ini tentu berpengaruh terhadap penggunaan minyak yang terkait dengan komponen militer modern (pesawat terbang, kendaraan, kapal perang, senjata), dan industri secara umum.

 

Kelangkaan Pangan

Adanya budget constraint membuat banyak negara tidak dapat mengakomodir semua kebutuhan masyarakatnya. Kondisi ini menimbulkan opportunity cost yang harus dipilih. Pemenuhan kesejahteraan sosial, termasuk pangan, kian mengalami tradeoff dengan pengembangan kapabilitas pertahanan (butter vs guns).


Jika melihat keterkaitan antara anggaran pertahanan dengan indeks kelaparan global dan indeks ketahanan pangan, maka dapat diketahui bahwa dari 20 negara versi Global Firepower yang anggaran pertahanannya paling rendah, diprediksi terdapat 5 negara yang akan mengalami krisis kemanusiaan pada 2024, yaitu Niger, Chad, Republik Demokratik Kongo, Burkina Faso, dan Mali (International Rescue Commite, 2023). Kelima negara tersebut memiliki indeks kelaparan cenderung tinggi dan indeks ketahanan pangan cenderung rendah apabila dibandingkan dengan negara lain.


Sebagai penguat dugaan di atas, hasil uji statistik korelasi Pearson menunjukkan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk pertahanan negara berkorelasi negatif signifikan dengan indeks kelaparan, dan berkolerasi positif signifikan dengan indeks ketahanan pangan. Jadi, dapat dikatakan bahwa dimensi pertahanan mempunyai keterkaitan dengan ketahanan pangan suatu negara.

 

Untuk kasus Indonesia, Global Hunger Index menunjukkan terjadi tingkat kelaparan serius selama tahun 2000-2015. Meskipun terdapat perbaikan pada tahun 2023 (tingkat kelaparan sedang), Indonesia perlu tetap waspada terhadap permasalahan kekurangan gizi, stunting anak, balita dengan berat badan rendah, hingga kematian anak. Negara kita dinilai rentan terhadap keterpaparan akibat dampak perubahan iklim, risiko sumber daya alam, dan kemampuan beradaptasi dengan risiko-risiko tersebut.


Peran Koperasi dan UKM dalam Mengurai Krisis Pangan dan Energi

Pertahanan negara yang kuat dapat diwujudkan dengan menciptakan ketahanan nasional dalam berbagai dimensi sehingga Indonesia memiliki detterent effect bagi negara lain.

 

Jika mengacu pada asas ketahanan nasional (kesejahteraan dan keamanan, komprehensif integral, dan kekeluargaan), maka peran koperasi dan UKM sangat krusial dan relevan dalam mewujudkan hal tersebut. Bagaimana tidak? Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional dan 99,9% total lapangan kerja merupakan UMKM.


Dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional, Kemenkop UKM berhasil menciptakan inovasi sumber pangan baru, antara lain:

(1) Bersama Badan Pangan Nasional, membangun jejaring UMKM Pangan Lokal untuk mendorong penganekaragaman pangan. Contohnya pembangunan minyak makan merah yang berpotensi sebagai pangan fungsional dalam membantu pencegahan stunting.

(2) Bersama KKP, meluncurkan produk susu ikan. Peran Koperasi dan UMKM turut diberdayakan sebagai penyuplai bahan baku dalam menciptakan produk inovasi Hidrolisat Protein Ikan (HPI) yang diolah menjadi susu ikan. Tujuannya untuk akselerasi penurunan stunting.

Lebih lanjut, dalam mengatasi krisis energi, transisi energi yang tengah dilakukan Indonesia menjadi salah satu upaya menjaga ketahanan energi dan menciptakan energi terbarukan.

(1) Sebagai contoh, hasil survei tahun 2021 menunjukkan bahwa 82 persen nelayan sulit mengakses BBM subsidi (Survei Bersama KNTI-IBP-Seknas Fitra, 2021). Untuk mengatasi permasalahan ini, Kemenkop UKM, Kementerian BUMN, dan KKP mencanangkan program ’Solar untuk Koperasi Nelayan’ berupa pembangunan gas station untuk memenuhi ketersediaan BBM. Melalui program ini, pengeluaran penggunaan BBM oleh para nelayan diharapkan dapat ditekan dan berdampak pada meningkatnya produktivitas UMKM nelayan.

(2) Selain itu, terdapat pengembangan ekosistem kendaraan listrik melalui ajang Inabuyer EV Expo 2023. KemenkopUKM bersama dengan Kemenko Perekonomian memberikan dukungan kepada pelaku UMKM agar menjadi bagian dari ekosistem kendaraan listrik terutama sebagai pemasok komponen motor listrik.

Kebijakan di atas dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisir dampak dari krisis energi dan kelangkaan pangan, yang berpotensi menimbulkan instabilitas. Peran krusial TNI dalam menjaga kedaulatan NKRI perlu disokong dengan ketahanan nasional, melalui pemberdayaan pelaku UMKM dan koperasi, utamanya di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan wilayah prioritas kemiskinan ekstrem. Dengan konsep welfare state yang berkeadilan, diharapkan Indonesia akan lebih berdikari dari aspek ekonomi dan berdaulat dari perspektif pertahanan.

Penulis

(1) Dedy Arfiansyah, Analis Kebijakan Ahli Pertama Kemenkop UKM

(2) Ressa Isnaini Arumnisaa', Statistisi Ahli Pertama Kemenkop UKM


EditorDini Pramita

━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Artikel ini telah tayang di Opini Katadata pada tanggal 29 Februari 2024

━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━


Posting Komentar

0 Komentar